Kamis, 25 Juli 2013

KISAH DARI SEBUAH MATA IMAJINASI 2



Aku berjalan pada tempatku yang seharusnya. Sebuah trotoar di dekat sebuah jalan utama. Trotoar ini cukup terawat. Bahkan tidak membiarkan rumput untuk menyela setiap selanya. Tapi mungkin jauh di dalamnya, trotoar ini masih mempersilakan beberapa mahkluk untuk hidup berbarengan dengannya. Beberapa keluarga cacing, bahkan koloni semut hidup nyaman tanpa terusik. Trotoar melindungi mereka dari si pembuatnya karena mereka yakin para pembuat tidak mungkin mengijinkan makhluk lain untuk bersandar pada apa yang telah diklaim menjadi buatannya. Sebuah ketulusan dari benda yang tak berperasaan. 

Trotoar ini tidak selalu untuk berjalan. Kebanyakan dipergunakan untuk tempat berdiam. Banyak manusia disini membangun usaha mereka. Dari tempat peletakkan kendaraan, sebuah kios yang berukuran kecil, sampai tempat santap yang muat untuk lebih dari 50 orang. Sebuah alih fungsi sarana yang menjadi dilema. Para manusia saling berargumen tentang hal tersebut. Ada yang memojokkan, bertahan, dan tidak sedikit yang menyalahkan nasib. “Tuhan sudah mentakdirkan kami untuk mendapatkan rejeki dengan cara dan di tempat seperti ini. Apakah kalian akan melawan kehendak dan Takdir Tuhan?” begitu kata mereka, para pengalih fungsi. Mereka selalu membawa-bawa nama Tuhan dimana mereka bertindak seolah-olah mereka adalah Tuhan. Mereka mengatakan takdir mereka untuk mendapat rejeki di tempat yang sama mereka tidak memberikan kesempatan rumput untuk hanya sekedar hidup.

Minggu, 16 Juni 2013

KISAH DARI SEBUAH MATA IMAJINASI

Aku berdiri di tengah padang dandelion. Padang yang berbukit-bukit. Terhampar puluhan hektar dandelion disini. Seperti kebanyakan, pohon janggal berada di tengah-tengahnya. Suatu kejanggalan yang memecah kebosanan. Pohon itu besar, terlalu besar jika dibandingkan para dandelion ini. Berdiri kokoh seperti seorang penggembala di antara domba-dombanya. Diam, tak bergerak. Hanya dahan-dahan lembut bergoyang tertiup angin. Congkak! Terlalu sombong hanya untuk sekedar menggerakkan badannya. Tak tahukah dia bahwa semua di sekitarnya sedang menikmati permainan angin  ini? Entah sebuah pendirian yang kokoh, entah tak peduli atas apapun. Dandelion bergoyang kekanan kekiri bersama-sama. Kadang mereka bersenggolan, kadang mereka bertubrukan. Mereka bergerak bersama, kadang berhenti bersama. Semua ketidak teraturan ini selalu dan akan selalu terjadi. Tidak ada dandelion yang peduli, pun pohon nan gagah itu. 

Beberapa dandelion melepaskan pucuk bunganya. Terlepas? Entahlah, pastinya hanya mereka yang tahu. Atau mungkin juga tidak. Beberapa pucuk bunga terbang dan jatuh sebelum dapat melewati area mereka. Menimpa tetangga mereka sendiri yang tentu tidak membutuhkan mereka. Beberapa biasanya hanya membusuk dan lenyap. Beberapa lainnya berhasil menguasai apa yang mereka tempati. Kadang hidup bersama, tapi lebih sering saling mematikan. Yap, mereka hidup bersama, bergoyang bersama, makan di tempat yang sama, dan saling mematikan antar sesama.

Rabu, 06 Maret 2013

GARWO WISMO TURONGGO CURIGO KUKILO




limo perkoro kanggo joko merdeko yaiku : garwo, wismo, turonggo, curigo lan kukilo” (lima hal untuk lelaki sejati adalah : rumah, istri, kuda, senjata dan burung “

Begitu pepatah kuno jawa mengatakan. Saya hanya menulis ulang di sebuah media social dan ternyata banyak yang menyalah-artikan. 

“jadi lelaki sejati harus punya burung dong?”

Ya iyalah bro, dimana-mana lelaki sejati itu udah dapet ‘burung’ dari sononya, tapi kan ga harus memelihara burung. Disini burung mengisyaratkan hobi, minat, passion dll. Kenapa burung? Jaman dulu burung adalah hewan peliharaan yang sangat digemari. Dari kalangan rakyat biasa sampai raja dan anak-anaknya pun gemar memelihara burung (unggas).  Memelihara burung dianggap memiliki prestige tersendiri karena diperlukan ketelatenan dan kesabaran yang besar. Mencarikan kroto (telur semut) sebagai makanan burung misalnya. Jaman dulu belum ada yang jualan kroto di pinggir jalan seperti sekarang. Pemilik harus mencari sendiri di pohon-pohon yang ada sarang semutnya, berjuang melawan ribuan semut yang menjaga telur-telur mereka. Belum juga harus membersihkan kandang dan membuang kotoran burung yang tertinggal dibawahnya, memandikan, menjemur setiap pagi, melatih agar burung mau berkicau. Tapi setelah burung itu jadi alias sudah jago berkicau, ada kepuasan tersendiri dari si pemilik. Apalagi jika burung tersebut bisa menjuarai kontes. 

Rabu, 05 Desember 2012

Seorang Gono

                Gono, seorang pemuda 27 tahun, sudah hampir sebulan ini selalu bermuram durja. Yang biasanya sehari makan 3 kali, sekarang jadi 2 kali, bahkan 7 kali. Omen, teman Gono dari daerah yang sama, jalan yang sama, kasur yang sama tapi rumah yang berbeda, prihatin atas keadaan temannya ini. Setiap kali didekati, baru mau tanya,sudah disodorkan telapak tangan dengan 5 jarinya yang membuka, “ada lima kelebihan!!”, oh bukan, “ngomong sama tangan!!”.
                Omen bingung bukan kepalang. Dipikir-pikir, Gono itu sudah kerja mapan, gaji oke. Dirumah, hubungan sama orang tua juga baik-baik saja. Tapi ternyata Gono belum punya pasangan. Masih melajang di usianya yang kata orang sudah cukup matang ini. Sebuah titik terang ke arah kebuntuan ditemui Omen. Memang Gono masih sendiri, tapi dengan perawakannya yang seperti Tom Cruise, badan kekar, muka macho, mata tajam, suara ngebass serak-serak luber, pasti gampang banget bagi Gono buat dapetin perempuan sekelas Dian Sastro, minimal Dorce.
               

Selasa, 22 Mei 2012

PERLUKAH EMANSIPASI WANITA



Sebelumnya saya jelaskan terlebih dahulu, saya bukanlah cendekiawan yang pemikirannya sudah dipakai dimana-mana, bahkan lulus sarjana pun belum.  Ini hanyalah unek-unek dari seorang mahasiswa, jadi jika terdapat banyak kesalahan, ketidaktepatan pemikiran, saya mohon maaf.
Baiklah, kita mulai.  Perlukah adanya emansipasi wanita?

Tentu untuk sebagian orang, tanpa berfikir, dalam hitungan detik mereka akan menjawab itu perlu.  Tapi apakah memang perlu? Bagaimana fenomena emansipasi yang terjadi sebenarnya? (dalam kacamata saya)

Emansipasi saya artikan dengan persamaan derajat. Apa yang disamakan? Derajatnya? Perlakuan di masyarakat? Apakah memang bisa untuk disamakan? 

Jumat, 04 Mei 2012

'yah' VS 'nah'


Sebuah persepsi tentang suatu ungkapan, ‘yah’ dan ‘nah.

‘Nah’ biasanya  digunakan ketika kita mengiyakan atau menyetujui sesuatu hal atau tindakan. “nah begitu lho” “nah iya bener”. Bisa juga ‘nah’ digunakan untuk menyatakan suatu kesimpulan, atau untuk mengakhiri suatu statement.  “nah, oleh karena….”. Semacam itu kira-kira.

‘Yah’ biasanya dan hampir selalu digunakan untuk mengungkapkan nada kekesalan, kekecewaan atas tidak terpenuhinya sesuatu yang kita harapkan atau inginkan. Dalam pengucapannya, ‘nah’ hampir selalu diikuti dengan nada minor dan ekspresi lain yang menunjukkan suasana hati sedang tidak baik.
Dalam perkembangannya, semakin dewasa, menurut saya, orang lebih memilih mendapatkan ‘yah’ daripada suatu ‘nah’. Kenapa demikian?

Rabu, 02 Mei 2012

PERSEPSI BERSYUKUR

Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas. Makhluk yang selalu ingin lebih. Sudah mandapat yang diinginkan, tetapi akan selalu mengharap yang lebih baik, dan lebih baik lagi. Bahkan walaupun sudah mendapat yang terbaik, manusia akan tetap ingin mendapatkan hal lain yang sudah jelas diketahuinya tidak lebih baik dari yang dimilikinya. Atau bisa saja faktor subjektif, karena yang  (dulu diangap) terbaik sudah dimiliki, hal tersebut tidak lagi menjadi yang terbaik bagi dirinya. Yang dulu dianggap tidak lebih baik, sekarang dianggapnya hal yg lebih baik dari yang terbaik yang sudah dimilikinya. Yah, begitulah manusia. Tidak akan pernah terpuaskan dengan berbagai macam hal.

Banyak orang yang suka mengeluh tentang bagaimana org lain diluar dirinya yang selalu merasa kurang dan kurang. Padahal tanpa disadari itu adalah hal yang sangat sangat manusiawi. Jarang sekali ditemui individu yang merasa cukup dengan hal yang dimilikinya. Dulu berharap sekali memiliki sebuah handphone, dan sekarang sudah punya. Kemudian berlanjut ke laptop, lanjut lagi ke sepeda motor, mobil, tanah pekarangan, rumah, rumah yang ada kolam renangnya, rumah di daerah ini-itu, dan seterusnya.  Cuma mungkin bedanya mereka tidak mengungkakan, dan org lain mengungkapkannya pada mereka.  Atau malah mereka mengungkapkan kepada orang lain tetapi mereka mengeluhkan orang lain yang mengungkapan hal tersebut pada mereka sendiri.
Lalu bagaimana mengatasinya? Perlu tidak untuk mengatasi hal tersebut?           

Share