Aku berjalan pada tempatku yang seharusnya. Sebuah trotoar
di dekat sebuah jalan utama. Trotoar ini cukup terawat. Bahkan tidak membiarkan
rumput untuk menyela setiap selanya. Tapi mungkin jauh di dalamnya, trotoar ini
masih mempersilakan beberapa mahkluk untuk hidup berbarengan dengannya.
Beberapa keluarga cacing, bahkan koloni semut hidup nyaman tanpa terusik.
Trotoar melindungi mereka dari si pembuatnya karena mereka yakin para pembuat
tidak mungkin mengijinkan makhluk lain untuk bersandar pada apa yang telah
diklaim menjadi buatannya. Sebuah ketulusan dari benda yang tak berperasaan.
Trotoar ini tidak selalu untuk berjalan. Kebanyakan
dipergunakan untuk tempat berdiam. Banyak manusia disini membangun usaha
mereka. Dari tempat peletakkan kendaraan, sebuah kios yang berukuran kecil,
sampai tempat santap yang muat untuk lebih dari 50 orang. Sebuah alih fungsi
sarana yang menjadi dilema. Para manusia saling berargumen tentang hal
tersebut. Ada yang memojokkan, bertahan, dan tidak sedikit yang menyalahkan nasib.
“Tuhan sudah mentakdirkan kami untuk
mendapatkan rejeki dengan cara dan di tempat seperti ini. Apakah kalian akan
melawan kehendak dan Takdir Tuhan?” begitu kata mereka, para pengalih
fungsi. Mereka selalu membawa-bawa nama Tuhan dimana mereka bertindak
seolah-olah mereka adalah Tuhan. Mereka mengatakan takdir mereka untuk mendapat
rejeki di tempat yang sama mereka tidak memberikan kesempatan rumput untuk
hanya sekedar hidup.
Saat manusia berdebat akan pendapat mereka, trotoar hanya
diam. Trotoar itu tidak peduli akan diapakan mereka. Mereka tetap melindungi
apa yang ada di bawah mereka. Mungkin mereka malah bersyukur jika mereka
dijadikan tempat berdiam. Manusia yang menjadikan mereka sebagai tempat berdiam
hampir setiap hari berada di atasnya. Tetapi tidak tentu sehari sekali mereka
dilewati objek berjalan. Entah itu kaki, atau kebanyakan roda. Sebagai benda,
mereka sadar bahwa sebuah benda akan jauh bermanfaat jika benda tersebut sering
digunakan. Akan lebih terurus, dan lebih banyak mendapat pahala tentunya bagi
trotoar.
Aku meneruskan jalanku melewati trotoar ini. Tidak seberapa
jauh terdapar aktivitas manusia di pinggir jalan. Mereka sedang membersihkan
pohon. Memotong dahan-dahan pohon di pinggir jalan, yang mereka sebut sebagai
‘membersihkan pohon’. Beberapa manusia asyik seolah menikmati pekerjaan mereka.
Suara gergaji mesin menderu- deru. Ranting-ranting mulai berjatuhan. Dedaunan
sudah terbang sebelumnya. Lirih
terdengar sebuah suara. Bukan suara mesin, juga bukan suara manusia. Jauh lebih
merdu, jauh lebih sendu. Ini suara tangisan pohon!
Pohon-pohon menangis. Mereka meneriakkan suaranya. Berteriak
sekencang mungkin yang mereka bisa kepada manusia-manusia calon pemotongnya.
Satu per satu pohon memprotes apa yang dilakukan manusia kepadanya.
“Apa yang kalian
lakukan kepada kami? Apa salah kami?”, sebuah permulaan standar dari sebuah
argumen dan itu belum cukup untuk membuat manusia-manusia ini menghentikan
aktivitasnya.
“Sebenarnya apa mau
kalian? Memengkas kami? Bah!! Bahkan kalian merengek kepada kami jika kami
tidak menumbuhkan daun-daun kami yang
kalian pergunakan sebagai tempat berteduh. Sekarang ketika kami sudah cukup
membuat kalian berteduh, kalian semena-mena untuk mencoba ‘merapikan’ kami
dalam istilah kalian.”
“Kami memang hanya
kumpulan pohon. Setidaknya itu yang kalian pikir. Kami tidak memiliki hak
apapun. Bahkan untuk memilih tempat hidup pun kalian yang menentukan. Bukan
kami yang memilih untuk hidup disini. Di tepi jalan besar ini. Bukan kami yang
memlih untuk bertempat di perlintasan kabel-kabel listrik kalian itu. Bukan
kami juga yang meminta untuk ada di dekat aspal-aspal kalian. Kalian yang
menentukan. Mungkin bukan kalian, tapi bagian dari kalian melakukannya.”
“Kami hanya ingin
sekedar hidup. Kalian meminta kami untuk tumbuh besar sebagai tempat berteduh?
Ya, kami lakukan. Kalian meminta kami untuk menyediakan udara yang kalian butuhkan untuk kalian bertahan hidup? Ya,
kami lakukan. Tapi apa yang kalian lakukan kepada kami? Kalian mewarnai batang
kami dengan cat yang kalian pikir itu menjadi lebih indah. Padahal sama sekali
tidak. Kalian memasangkan paku-paku pada batang kami untuk menempelkan
benda-benda keperluan kalian. Kalian melukai batang kami, menggoreskan ukiran
nama kalian disana, yang mana hal itu sangat sulit kami hilangkan. Ketika kami
sudah bisa menghilangkan hasil karya kalian itu, kalian membuat hal yg sama
lagi di lain temat pada kami.”
“Kalian bilang dahan
kami mengganggu kabel-kabel kalian. Kalian bilang daun-daun kami mengotori
tempat kalian. Kalian bilang akar kami merusak aspal kalian. Padahal kalian
yang menempatkan kabel itu berdekatan dengan kami. Kalian juga yang menanam
kami hanya dengan sejengkal tanah tempat kami hidup. Kalian tidak
mengantisipasi apa yang kami butuhkan ketika kami tumbuh besar seperti yang
kalian harapkan, dan kalian masih menyebut diri kalian adalah makhluk terbaik
ciptaan Tuhan? “
“Lalu apa kalian tak
sadar jika daun-daun kami yang berjatuhan itu adalah sumber nafkah untuk
sebagian dari kalian? Apa kalian lupa daun-daun kami itu dulunya melindungi
kalian dari panas matahari? Ingatkah kalian bahwa daun-daun kami itu dulunya
memberi kalian udara segar penetralisir polusi yg kalian ciptakan sendiri?
Sebenarnya tanpa kalian bersihkan pun daun-daun itu akan busuk dan hilang
dengan sendirinya tanpa membutuhkan waktu yang lama. Jauh lebih singkat
daripada waktu yang kami butuhkan untuk menumbuhkan batang kami yang kalian
tebang. Jauh lebih singkat dari menyembuhkan pahatan kalian pada tubuh kami.”
“Kalian sangat
membutuhkan kami, tetapi kalian juga sangat tidak menghargai kami. Banyak
kalian yang menyuarakan untuk melindungi kami, dengan menuliskan kata-kata di
atas kertas yang terbuat dari kami pula. Banyak kalian yang seolah membela
kami, namun bertampat tinggal di lahan yang dulunya adalah tempat tinggal
kami.”
“Kalian seolah bangga
dengan membangun area yang luas, yang seharusnya bisa ditempati banyak dari
kami, tapi hanya kalian perbolehkan beberapa dari kami saja untuk hidup disana.
kalian terlalu memikirkan tentang keindahan, keindahan menurut kalian sendiri,
tanpa memikirkan kehidupan, kehidupan selain kehidupan kalian.”
**
Entah seperti apa berakhirnya argumen dari pohon-pohon tadi,
aku terlalu lelah untuk hanya sekedar mendengarkan itu. Tidak tau juga apakah
manusia-manusia itu mau mendengarkan atau tidak. Mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. Mereka terlihat bangga dengan apa yang mereka kenakan. Pakaian
seragam, kacamata, penutup telinga, dan gergaji mesin di tangan. Kacamata untuk
melindungi mata dari serpihan potongan pohon, penutup telinga untuk melindungi
telinga mereka dari kebisingan gergaji mesin. Ataukah kacamata untuk menutup
mata mereka atas baik buruknya
perbuatanmereka dan penutup
telinga untuk menutupi telinga mereka dari raungan pohon? Entah lah…
Aku melangkah cepat meninggalkan arena pembabatan itu. Pergi
jauh ke tempat tenang yang mana tidak ada pohon disana, karena setiap aku
melewati sebuah pohon, pohon-pohon itu selalu melakukan hal yang sama,
berargumen, menyuarakan pendapat dan protes mereka. Tidak aku gubris, aku hanya
berjalan cepat, secepatnya agar bisa lepas dari suara-suara ini. Akhirnya aku
melihat sebuah tempat dimana suasana tenang. Memang ada sebuah pohon, tapi
pohon itu tidak seperti pohon-pohon sebelumnya yang aku lihat tadi. Dia besar,
tenang, terlihat gagah dan sedikit sombong. Dia terlalu menonjol dibandingkan
tumbuhan lain di dekatnya. Setelah melihat sekeliling, aku tersadar aku berada
di sebuah padang dandelion…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar