Jumat, 04 Mei 2012

'yah' VS 'nah'


Sebuah persepsi tentang suatu ungkapan, ‘yah’ dan ‘nah.

‘Nah’ biasanya  digunakan ketika kita mengiyakan atau menyetujui sesuatu hal atau tindakan. “nah begitu lho” “nah iya bener”. Bisa juga ‘nah’ digunakan untuk menyatakan suatu kesimpulan, atau untuk mengakhiri suatu statement.  “nah, oleh karena….”. Semacam itu kira-kira.

‘Yah’ biasanya dan hampir selalu digunakan untuk mengungkapkan nada kekesalan, kekecewaan atas tidak terpenuhinya sesuatu yang kita harapkan atau inginkan. Dalam pengucapannya, ‘nah’ hampir selalu diikuti dengan nada minor dan ekspresi lain yang menunjukkan suasana hati sedang tidak baik.
Dalam perkembangannya, semakin dewasa, menurut saya, orang lebih memilih mendapatkan ‘yah’ daripada suatu ‘nah’. Kenapa demikian?


Jika dalam suatu tindakan, kita mendapati hal yang tidak kita harapkan atau mengalami kekecewaan tentang hal itu, secara otomatis kalimat pertama yang kita ucapkan adalah kalimat yang mengandung unsur ‘yah’. Tetapi jika hal tersebut berulang-ulang untuk sesuatu yang sama, apakah kita akan selalu mengeluarkan kata-kata ‘yah’ dalam setiap kekecewaan kita? Ketika kita mendapati banyak kekecewaan dan mulai terbiasa dengan hal itu, kemudian ada sebuah tindakan yang sesuai dengan apa yang kita harapkan, pada saat itu lah kita mengucapkan ‘nah’. Apakah itu sebuah pujian? Yaap, jelas itu sebuah pujian atas keberhasilan kita memberikan apa yang orang lain harapkan. Tetapi maukah anda seperti itu?

Saya lebih memilih orang berkata ‘yah’ untuk hal-hal yang saya lakukan setelah hal lain yang saya lakukan sebelumnya. Orang lain merasa kecewa dengan saya. Pada saat itu. Sebelumnya? Tidak ada kata ‘nah’  untuk hal yang saya lakukan, dan tiba-tiba orang berkata ‘yah’ pada saya.  Atau mungkin kata ‘nah’ itu terucap jauh sebelum masa sekarang ketika saya membuat orang lain berucap ‘yah’.   Jadi jadi saya membuat orang lain kecewa setelah sekian lama memuaskan mereka.

Pernah seseorang berkata kepada saya, ‘jika kamu adalah cermin, biarkanlah seseorang melihat setitik kotoran padamu daripada seseorang itu melihat setitik celah untuk dia bercermin padamu’. Dengan kata lain berbuat jeleklah diantara kebaikan, daripada berbuat baik diantara kejelekan. Jangan lalu anda berkata, “kenapa tidak berbuat baik terus saja? Bukankah itu lebih baik diantara kedua pilihan yang anda tawarkan tadi?”.  Saya coba melihat realita saja. Apakah bisa seseorang selalu berbuat baik dalam hidupnya? Bisa mungin untuk dirinya. Tetapi ingat, baik buruk itu subjektif, yang baik menurut anda belum tentu juga baik bagi orang lain. Jadi selalu berusaha berbuat baiklah dengan memperhatikan dan memikirkan berbagai sudut pandang yang mungkin akan terlibat dari tindakan yang akan anda lakukan.

-Taufan Indra Praditya-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share