Sebuah persepsi tentang suatu ungkapan, ‘yah’ dan ‘nah.
‘Nah’ biasanya
digunakan ketika kita mengiyakan atau menyetujui sesuatu hal atau
tindakan. “nah begitu lho” “nah iya bener”. Bisa juga ‘nah’ digunakan untuk
menyatakan suatu kesimpulan, atau untuk mengakhiri suatu statement. “nah, oleh karena….”.
Semacam itu kira-kira.
‘Yah’ biasanya dan hampir selalu digunakan untuk
mengungkapkan nada kekesalan, kekecewaan atas tidak terpenuhinya sesuatu yang
kita harapkan atau inginkan. Dalam pengucapannya, ‘nah’ hampir selalu diikuti dengan
nada minor dan ekspresi lain yang menunjukkan suasana hati sedang tidak baik.
Dalam perkembangannya, semakin dewasa, menurut saya, orang
lebih memilih mendapatkan ‘yah’ daripada suatu ‘nah’. Kenapa demikian?
Jika dalam suatu tindakan, kita mendapati hal yang tidak
kita harapkan atau mengalami kekecewaan tentang hal itu, secara otomatis
kalimat pertama yang kita ucapkan adalah kalimat yang mengandung unsur ‘yah’. Tetapi
jika hal tersebut berulang-ulang untuk sesuatu yang sama, apakah kita akan
selalu mengeluarkan kata-kata ‘yah’ dalam setiap kekecewaan kita? Ketika kita
mendapati banyak kekecewaan dan mulai terbiasa dengan hal itu, kemudian ada
sebuah tindakan yang sesuai dengan apa yang kita harapkan, pada saat itu lah
kita mengucapkan ‘nah’. Apakah itu sebuah pujian? Yaap, jelas itu sebuah pujian
atas keberhasilan kita memberikan apa yang orang lain harapkan. Tetapi maukah anda
seperti itu?
Saya lebih memilih orang berkata ‘yah’ untuk hal-hal yang
saya lakukan setelah hal lain yang saya lakukan sebelumnya. Orang lain merasa
kecewa dengan saya. Pada saat itu. Sebelumnya? Tidak ada kata ‘nah’ untuk hal yang saya lakukan, dan tiba-tiba
orang berkata ‘yah’ pada saya. Atau mungkin
kata ‘nah’ itu terucap jauh sebelum masa sekarang ketika saya membuat orang
lain berucap ‘yah’. Jadi jadi saya
membuat orang lain kecewa setelah sekian lama memuaskan mereka.
Pernah seseorang berkata kepada saya, ‘jika kamu adalah
cermin, biarkanlah seseorang melihat setitik kotoran padamu daripada seseorang itu
melihat setitik celah untuk dia bercermin padamu’. Dengan kata lain berbuat
jeleklah diantara kebaikan, daripada berbuat baik diantara kejelekan. Jangan lalu
anda berkata, “kenapa tidak berbuat baik terus saja? Bukankah itu lebih baik
diantara kedua pilihan yang anda tawarkan tadi?”. Saya coba melihat realita saja. Apakah bisa
seseorang selalu berbuat baik dalam hidupnya? Bisa mungin untuk dirinya. Tetapi
ingat, baik buruk itu subjektif, yang baik menurut anda belum tentu juga baik
bagi orang lain. Jadi selalu berusaha berbuat baiklah dengan memperhatikan dan
memikirkan berbagai sudut pandang yang mungkin akan terlibat dari tindakan yang
akan anda lakukan.
-Taufan Indra Praditya-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar