Aku berdiri di tengah padang
dandelion. Padang yang berbukit-bukit. Terhampar puluhan hektar dandelion
disini. Seperti kebanyakan, pohon janggal berada di tengah-tengahnya. Suatu
kejanggalan yang memecah kebosanan. Pohon itu besar, terlalu besar jika dibandingkan
para dandelion ini. Berdiri kokoh seperti seorang penggembala di antara
domba-dombanya. Diam, tak bergerak. Hanya dahan-dahan lembut bergoyang tertiup
angin. Congkak! Terlalu sombong hanya untuk sekedar menggerakkan badannya. Tak
tahukah dia bahwa semua di sekitarnya sedang menikmati permainan angin ini? Entah sebuah pendirian yang kokoh, entah
tak peduli atas apapun. Dandelion bergoyang kekanan kekiri bersama-sama. Kadang
mereka bersenggolan, kadang mereka bertubrukan. Mereka bergerak bersama, kadang
berhenti bersama. Semua ketidak teraturan ini selalu dan akan selalu terjadi.
Tidak ada dandelion yang peduli, pun pohon nan gagah itu.
Beberapa dandelion melepaskan
pucuk bunganya. Terlepas? Entahlah, pastinya hanya mereka yang tahu. Atau
mungkin juga tidak. Beberapa pucuk bunga terbang dan jatuh sebelum dapat
melewati area mereka. Menimpa tetangga mereka sendiri yang tentu tidak
membutuhkan mereka. Beberapa biasanya hanya membusuk dan lenyap. Beberapa
lainnya berhasil menguasai apa yang mereka tempati. Kadang hidup bersama, tapi
lebih sering saling mematikan. Yap, mereka hidup bersama, bergoyang bersama,
makan di tempat yang sama, dan saling mematikan antar sesama.
Puluhan meter dari tempatku
berdiri, terlihat sebuah gubuk. Gubuk usang di tengah padang. Sudah berumur,
reyot, tetapi bersahaja. Tahu diri lah dia berada jauh dari pohon tadi. Si
congkak yang berdiri tegak. Bahkan angin penggerak dandelion di seluruh padang
pun tak berkutik dihadapannya. Gubuk ini beratap jerami, berdinding kayu lapuk dimakan
rayap. Semuanya tertutup, tapi tak bisa mencegah sang angin untuk
mengintervensi isinya.
Aku berjalan menuju gubuk itu. Oh
lihatlah! Bahkan rumput pun berani memakan jalan setapak ke gubuk tua ini.
Hanya sedikit saja tanah botak takberumput pada jalan ini. Ketika rumput berani
memakan jalan setapak, sekarang giliran tanaman perdu memakan hampir seluruh
pekarangan. Memang tidak terlalu tinggi, tapi menyeluruh. Tersembunyilah dua
buah bangku teras dari kejauhan. Tapi siapa juga yang mau duduk di bangku itu?
Apa indahnya melihat hamparan dandelion di sela-sela rimbunnya perdu?
Ternyata pintu ini tak serapuh
yang aku kira. Cukup kuat untuk ukuran gubut peyot. Lantai kayunya bersih.
Memang gubuk ini mengambang dari tanah. Ada jarak yang memisahkan lantai dengan
tanah, tapi tidak memberi kesempatan perdu untuk menduduki territorial dibawah
lantai. Ada sebuah dipan di ujung ruangan, meja kecil di ujung lainnya, dan
lukisan usang di dinding tengah. Jelas gubuk ini hanya tempat untuk
bersitirahat sejenak. Tidak bisa terlalu lama kita tinggal. Sempit namun cukup
nyaman. Tidak ada toilet disini. Kalau tidak mau sembarangan dan asal-asalan,
maka harus menahan jika sedang berhasrat.
Aku duduk di pinggiran dipan.
Menikmati suasana di dalam gubuk reyot bersahaja ini. Hangat. Tenang. Terkadang
terasa hawa sejuk angina yang berpatroli melewati celah dinding kayu. Mataku
tertuju pada lukisan tua ini. Lukisan beberapa bunga matahari, yang hanya
terlihat bunga, batang dan beberapa lembar daunnya saja. Di dalam lukisan itu
hanya terdapat lima buah bunga matahari. Tingginya hampir menyentuh ujung
lukisan. Di belakangnya hanya warna biru. Mungkin itu langit. Tidak ada
matahari, tidak ada tanaman lain. Sebuah lukisan bunga matahari tanpa matahari.
Bunga matahari itu berwarna kuning. Semuanya. Batangnya hijau, daunnya hijau.
Mereka hanya diam, tidak bergoyang-goyang seperti dandelion di luar sana.
Mungkin disana sedang tidak ada angin. Tapi sedikit tidak masuk akal jika
memang disana tidak ada angin. Langitnya biru, menandakan itu siang hari dan
tanpa hujan. Jarang sekali di siang yang cerah seperti itu angina hanya diam.
Atau mungkin juga bunga matahari ini seperti si pohon congkak yang selalu diam
tak bergeming walaupun dihajar angin.
Pandanganku teralih menuju meja
kecil di ujung lainnya. Disana terdapat tempat lilin berbentuk trisula lengkap
dengan tiga buah lilin terpasang di tempatnya. Diantara ketiganya, yang tengah
tempatnya paling tinggi, tetapi lilinnya paling pendek. Dua lainnya sama
ketinggian tempatnya, tapi lilin di sebelah kiri sedikit lebih panjang dari
sebelah kanan. Lilin itu berwarna putih dengan sumbu hitam dan apinya berwarna
merah. Terdapat lelehan pada batang dan banyak lagi di tempat penampungan di
bawahnya. Seharusnya tempat lilin itu berwarna kuning emas, atau perak. tapi
entah kenapa warnanya jadi terlalu kusam untuk diidentifikasi. Jelas sekali
tempat lilin itu terbuat dari logam. Dia bersandar di meja kayu. Menopang tiga
buah lilin penyala api. Sebuah logam yang rela dilelehi lilin demi sebuah api.
Sebuah logam yang melindungi kayu dari tetesan lilin, lagi-lagi demi sebuah
api.
Sayup-sayup terdengar suara di
dalam gubuk itu. Suaranya lirih. Apakah mungkin para bunga matahari itu sedang
bergesekan hingga muncul suara ini? Mungkin disana angin sudah muncul. Aku
cermati lukisan itu. Dan benar, bunga-bunga itu sedikit bergoyang. Mereka
saling bergesekan tidak teratur, menimbulkan suara-suara bernada aneh. Tidak
sumbang, tapi aneh. Sebuah harmonisasi yang unik. Mereka bernyanyi dengan cara
mereka sendiri. Takpeduli apakah ada yang sudi menikmati, atau bahkan hanya
sekedar mendengar. Mereka tenggelam dalam kegembiraannya. Saling bergesekan,
saling bertubrukan, tidak teratur, tapi tidak satupun dari mereka melepaskan
pucuk bunganya. Pucuk bunganya tidak terlepas, tidak jatuh ke daerah lain,
ataupun area lukisan itu sendiri. Mereka tidak saling mematikan antar
sesama! Mereka hanya bergoyang bersama,
bergembira bersama. Nada ini semakin aneh. Ini nada sendu! Mereka tidak menjatuhkan
bijinya, tidak menerbangkan pucuk bunganya. Mereka tidak saling mematikan
sesamanya. Hanya mereka mematikan biji mereka sendiri, mematikan diri mereka
sendiri. Mereka menyimpan biji itu bersamanya, membiarkan busuk bersamanya, dan
mati bersamanya.
Api lilin itu bergerak ke kanan
kekiri. Mungkin mereka tertiup angin yang melewati celah dinding gubuk tua ini.
Tapi gerakan mereka melawan angin! Mereka tidak tertiup angin. Api lilin itu
bergerak mengikuti nada dari bunga matahari! Mereka menikmatinya. Menikmati
nada-nada aneh itu. Semakin sendu semakin liar gerakan mereka. Mereka semakin
besar, semakin tinggi. Dengan nyala seperti itu mereka bisa membakar gubuk ini.
Oh tidak, mungkin memang ini niat mereka. Mereka hendak membakar gubuk tua ini.
Gubuk yang bersahaja ini.
Aku tidak mungkin berada disana
dalam waktu yang lama. Aku tidak mau melihat terbakarnya para bunga matahari
dan semua yang ada disana dengan mataku sendiri. Aku tak sanggup melihat semuanya.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari gubuk tua itu. Keluar dari pintu
belakang yang lebih kecil dari pintu utama. Dan memang benar, tak berapa lama
sepeninggalku, gubuk itu habis terbakar. Membakar pula perdu di sekitarnya. Tanaman
hijau itu memerah dan tak lama lagi akan menghitam. Sebuah kobaran api di
tengah padang. Dan para angin sangat girang menyambutnya. Seperti kesetanan,
mereka bergerak kesana-kemari bersama kobaran itu, membuat api semakin besar
yang menyambar segala yang didekatnya. Memang salah api jika gubuk itu habis,
namun bagaimana dengan perdu?
Api itu terus berkobar. Panas,
membakar. Dan aku tersadar. Api sudah lebih dahulu menyadari akan semuanya. Tak
mungkin bunga matahari akan selamanya disana, mereka mati bersama biji-bijinya.
Tak mungkin lilin menyangganya selamanya. Kecil kemungkinan tempat lilin itu
akan bertahan bertempur melawan usia. Dan terlebih dinding gubuk yang semakin
rapuh dimakan waktu. Tak lama lagi mereka habis. Dan memberi zona yang lebih
luas untuk perdu. Lalu apakah mereka akan diam saja menanti masa itu? Matilah
kalian walaupun harus bersama kami! Tidak akan kami mati tanpa mengajakmu! Begitulah
api berseru dengan kobarannya. Silahkan ambil daerahku, setelah kau mati.
Aku pun pergi. Pergi yang jelas
tak akan pernah kembali karena tidak ada tempat untuk kembali. Meninggalkan ilusi
kenangan nyata. Dan tidak bisa kuucapkan sampai jumpa di lain dunia. Hanya cukup
dengan selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar