Minggu, 16 Juni 2013

KISAH DARI SEBUAH MATA IMAJINASI

Aku berdiri di tengah padang dandelion. Padang yang berbukit-bukit. Terhampar puluhan hektar dandelion disini. Seperti kebanyakan, pohon janggal berada di tengah-tengahnya. Suatu kejanggalan yang memecah kebosanan. Pohon itu besar, terlalu besar jika dibandingkan para dandelion ini. Berdiri kokoh seperti seorang penggembala di antara domba-dombanya. Diam, tak bergerak. Hanya dahan-dahan lembut bergoyang tertiup angin. Congkak! Terlalu sombong hanya untuk sekedar menggerakkan badannya. Tak tahukah dia bahwa semua di sekitarnya sedang menikmati permainan angin  ini? Entah sebuah pendirian yang kokoh, entah tak peduli atas apapun. Dandelion bergoyang kekanan kekiri bersama-sama. Kadang mereka bersenggolan, kadang mereka bertubrukan. Mereka bergerak bersama, kadang berhenti bersama. Semua ketidak teraturan ini selalu dan akan selalu terjadi. Tidak ada dandelion yang peduli, pun pohon nan gagah itu. 

Beberapa dandelion melepaskan pucuk bunganya. Terlepas? Entahlah, pastinya hanya mereka yang tahu. Atau mungkin juga tidak. Beberapa pucuk bunga terbang dan jatuh sebelum dapat melewati area mereka. Menimpa tetangga mereka sendiri yang tentu tidak membutuhkan mereka. Beberapa biasanya hanya membusuk dan lenyap. Beberapa lainnya berhasil menguasai apa yang mereka tempati. Kadang hidup bersama, tapi lebih sering saling mematikan. Yap, mereka hidup bersama, bergoyang bersama, makan di tempat yang sama, dan saling mematikan antar sesama.


Puluhan meter dari tempatku berdiri, terlihat sebuah gubuk. Gubuk usang di tengah padang. Sudah berumur, reyot, tetapi bersahaja. Tahu diri lah dia berada jauh dari pohon tadi. Si congkak yang berdiri tegak. Bahkan angin penggerak dandelion di seluruh padang pun tak berkutik dihadapannya. Gubuk ini beratap jerami, berdinding kayu lapuk dimakan rayap. Semuanya tertutup, tapi tak bisa mencegah sang angin untuk mengintervensi isinya. 

Aku berjalan menuju gubuk itu. Oh lihatlah! Bahkan rumput pun berani memakan jalan setapak ke gubuk tua ini. Hanya sedikit saja tanah botak takberumput pada jalan ini. Ketika rumput berani memakan jalan setapak, sekarang giliran tanaman perdu memakan hampir seluruh pekarangan. Memang tidak terlalu tinggi, tapi menyeluruh. Tersembunyilah dua buah bangku teras dari kejauhan. Tapi siapa juga yang mau duduk di bangku itu? Apa indahnya melihat hamparan dandelion di sela-sela rimbunnya perdu?

Ternyata pintu ini tak serapuh yang aku kira. Cukup kuat untuk ukuran gubut peyot. Lantai kayunya bersih. Memang gubuk ini mengambang dari tanah. Ada jarak yang memisahkan lantai dengan tanah, tapi tidak memberi kesempatan perdu untuk menduduki territorial dibawah lantai. Ada sebuah dipan di ujung ruangan, meja kecil di ujung lainnya, dan lukisan usang di dinding tengah. Jelas gubuk ini hanya tempat untuk bersitirahat sejenak. Tidak bisa terlalu lama kita tinggal. Sempit namun cukup nyaman. Tidak ada toilet disini. Kalau tidak mau sembarangan dan asal-asalan, maka harus menahan jika sedang berhasrat.


Aku duduk di pinggiran dipan. Menikmati suasana di dalam gubuk reyot bersahaja ini. Hangat. Tenang. Terkadang terasa hawa sejuk angina yang berpatroli melewati celah dinding kayu. Mataku tertuju pada lukisan tua ini. Lukisan beberapa bunga matahari, yang hanya terlihat bunga, batang dan beberapa lembar daunnya saja. Di dalam lukisan itu hanya terdapat lima buah bunga matahari. Tingginya hampir menyentuh ujung lukisan. Di belakangnya hanya warna biru. Mungkin itu langit. Tidak ada matahari, tidak ada tanaman lain. Sebuah lukisan bunga matahari tanpa matahari. Bunga matahari itu berwarna kuning. Semuanya. Batangnya hijau, daunnya hijau. Mereka hanya diam, tidak bergoyang-goyang seperti dandelion di luar sana. Mungkin disana sedang tidak ada angin. Tapi sedikit tidak masuk akal jika memang disana tidak ada angin. Langitnya biru, menandakan itu siang hari dan tanpa hujan. Jarang sekali di siang yang cerah seperti itu angina hanya diam. Atau mungkin juga bunga matahari ini seperti si pohon congkak yang selalu diam tak bergeming walaupun dihajar angin. 




Pandanganku teralih menuju meja kecil di ujung lainnya. Disana terdapat tempat lilin berbentuk trisula lengkap dengan tiga buah lilin terpasang di tempatnya. Diantara ketiganya, yang tengah tempatnya paling tinggi, tetapi lilinnya paling pendek. Dua lainnya sama ketinggian tempatnya, tapi lilin di sebelah kiri sedikit lebih panjang dari sebelah kanan. Lilin itu berwarna putih dengan sumbu hitam dan apinya berwarna merah. Terdapat lelehan pada batang dan banyak lagi di tempat penampungan di bawahnya. Seharusnya tempat lilin itu berwarna kuning emas, atau perak. tapi entah kenapa warnanya jadi terlalu kusam untuk diidentifikasi. Jelas sekali tempat lilin itu terbuat dari logam. Dia bersandar di meja kayu. Menopang tiga buah lilin penyala api. Sebuah logam yang rela dilelehi lilin demi sebuah api. Sebuah logam yang melindungi kayu dari tetesan lilin, lagi-lagi demi sebuah api. 

Sayup-sayup terdengar suara di dalam gubuk itu. Suaranya lirih. Apakah mungkin para bunga matahari itu sedang bergesekan hingga muncul suara ini? Mungkin disana angin sudah muncul. Aku cermati lukisan itu. Dan benar, bunga-bunga itu sedikit bergoyang. Mereka saling bergesekan tidak teratur, menimbulkan suara-suara bernada aneh. Tidak sumbang, tapi aneh. Sebuah harmonisasi yang unik. Mereka bernyanyi dengan cara mereka sendiri. Takpeduli apakah ada yang sudi menikmati, atau bahkan hanya sekedar mendengar. Mereka tenggelam dalam kegembiraannya. Saling bergesekan, saling bertubrukan, tidak teratur, tapi tidak satupun dari mereka melepaskan pucuk bunganya. Pucuk bunganya tidak terlepas, tidak jatuh ke daerah lain, ataupun area lukisan itu sendiri. Mereka tidak saling mematikan antar sesama!  Mereka hanya bergoyang bersama, bergembira bersama. Nada ini semakin aneh. Ini nada sendu! Mereka tidak menjatuhkan bijinya, tidak menerbangkan pucuk bunganya. Mereka tidak saling mematikan sesamanya. Hanya mereka mematikan biji mereka sendiri, mematikan diri mereka sendiri. Mereka menyimpan biji itu bersamanya, membiarkan busuk bersamanya, dan mati bersamanya.

Api lilin itu bergerak ke kanan kekiri. Mungkin mereka tertiup angin yang melewati celah dinding gubuk tua ini. Tapi gerakan mereka melawan angin! Mereka tidak tertiup angin. Api lilin itu bergerak mengikuti nada dari bunga matahari! Mereka menikmatinya. Menikmati nada-nada aneh itu. Semakin sendu semakin liar gerakan mereka. Mereka semakin besar, semakin tinggi. Dengan nyala seperti itu mereka bisa membakar gubuk ini. Oh tidak, mungkin memang ini niat mereka. Mereka hendak membakar gubuk tua ini. Gubuk yang bersahaja ini.

Aku tidak mungkin berada disana dalam waktu yang lama. Aku tidak mau melihat terbakarnya para bunga matahari dan semua yang ada disana dengan mataku sendiri. Aku tak sanggup melihat semuanya. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari gubuk tua itu. Keluar dari pintu belakang yang lebih kecil dari pintu utama. Dan memang benar, tak berapa lama sepeninggalku, gubuk itu habis terbakar. Membakar pula perdu di sekitarnya. Tanaman hijau itu memerah dan tak lama lagi akan menghitam. Sebuah kobaran api di tengah padang. Dan para angin sangat girang menyambutnya. Seperti kesetanan, mereka bergerak kesana-kemari bersama kobaran itu, membuat api semakin besar yang menyambar segala yang didekatnya. Memang salah api jika gubuk itu habis, namun bagaimana dengan perdu?

Api itu terus berkobar. Panas, membakar. Dan aku tersadar. Api sudah lebih dahulu menyadari akan semuanya. Tak mungkin bunga matahari akan selamanya disana, mereka mati bersama biji-bijinya. Tak mungkin lilin menyangganya selamanya. Kecil kemungkinan tempat lilin itu akan bertahan bertempur melawan usia. Dan terlebih dinding gubuk yang semakin rapuh dimakan waktu. Tak lama lagi mereka habis. Dan memberi zona yang lebih luas untuk perdu. Lalu apakah mereka akan diam saja menanti masa itu? Matilah kalian walaupun harus bersama kami! Tidak akan kami mati tanpa mengajakmu! Begitulah api berseru dengan kobarannya. Silahkan ambil daerahku, setelah kau mati.

Aku pun pergi. Pergi yang jelas tak akan pernah kembali karena tidak ada tempat untuk kembali. Meninggalkan ilusi kenangan nyata. Dan tidak bisa kuucapkan sampai jumpa di lain dunia. Hanya cukup dengan selamat tinggal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share