Aku berjalan pada tempatku yang seharusnya. Sebuah trotoar
di dekat sebuah jalan utama. Trotoar ini cukup terawat. Bahkan tidak membiarkan
rumput untuk menyela setiap selanya. Tapi mungkin jauh di dalamnya, trotoar ini
masih mempersilakan beberapa mahkluk untuk hidup berbarengan dengannya.
Beberapa keluarga cacing, bahkan koloni semut hidup nyaman tanpa terusik.
Trotoar melindungi mereka dari si pembuatnya karena mereka yakin para pembuat
tidak mungkin mengijinkan makhluk lain untuk bersandar pada apa yang telah
diklaim menjadi buatannya. Sebuah ketulusan dari benda yang tak berperasaan.
Trotoar ini tidak selalu untuk berjalan. Kebanyakan
dipergunakan untuk tempat berdiam. Banyak manusia disini membangun usaha
mereka. Dari tempat peletakkan kendaraan, sebuah kios yang berukuran kecil,
sampai tempat santap yang muat untuk lebih dari 50 orang. Sebuah alih fungsi
sarana yang menjadi dilema. Para manusia saling berargumen tentang hal
tersebut. Ada yang memojokkan, bertahan, dan tidak sedikit yang menyalahkan nasib.
“Tuhan sudah mentakdirkan kami untuk
mendapatkan rejeki dengan cara dan di tempat seperti ini. Apakah kalian akan
melawan kehendak dan Takdir Tuhan?” begitu kata mereka, para pengalih
fungsi. Mereka selalu membawa-bawa nama Tuhan dimana mereka bertindak
seolah-olah mereka adalah Tuhan. Mereka mengatakan takdir mereka untuk mendapat
rejeki di tempat yang sama mereka tidak memberikan kesempatan rumput untuk
hanya sekedar hidup.